JAKARTA - Tingkat penetrasi asuransi di Indonesia masih menjadi salah satu yang terendah di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan laporan IFG Progress, penetrasi asuransi di Indonesia hanya 1,4 persen, tertinggal dari Vietnam 2,2 persen, Filipina 2,5 persen, Malaysia 3,8 persen, Thailand 4,6 persen, Singapura 12,5 persen, serta Tiongkok 3,9 persen dan India 4,0 persen.
Sementara itu, tingkat literasi asuransi nasional pada 2025 baru mencapai sekitar 45,45 persen menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK bersama BPS. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain yang sudah 60-70 persen. Rendahnya literasi ini mendorong banyak miskonsepsi tentang asuransi dan menjadi penyebab rendahnya kesadaran masyarakat memiliki perlindungan sejak dini.
Komitmen Industri Tingkatkan Edukasi Masyarakat
Direktur Bisnis Individu IFG Life, Fabiola Noralita, menjelaskan perlunya edukasi berkelanjutan agar masyarakat memahami asuransi bukan sekadar pengeluaran. “Rendahnya penetrasi dan literasi asuransi di Indonesia menunjukkan masih besarnya tantangan dalam meningkatkan edukasi keuangan. Banyak masyarakat yang belum menyadari asuransi bukan sekadar biaya, melainkan investasi perlindungan jangka panjang bagi diri dan keluarga. Sebagai pemimpin industri di bidang asuransi, IFG Life berkomitmen untuk terus meningkatkan literasi, meluruskan miskonsepsi, serta menghadirkan solusi proteksi yang mudah diakses, komprehensif, dan relevan di setiap tahap kehidupan,” ujarnya.
Lima Mitos yang Perlu Diluruskan
Kesalahpahaman yang terus berkembang membuat banyak orang enggan membeli polis. IFG Life menguraikan lima mitos yang paling sering dipercayai masyarakat.
1. Klaim Asuransi Sulit dan Ribet
Sebagian orang beranggapan klaim memakan waktu lama dan berbiaya tambahan. Padahal klaim asuransi dirancang agar mudah, cepat, dan transparan sehingga nasabah bisa mendapatkan manfaat proteksi tepat waktu.
2. Asuransi Hanya untuk Kalangan Tertentu
Banyak masyarakat mengira asuransi hanya untuk berpenghasilan tinggi. Padahal, asuransi merupakan kebutuhan semua orang sebagai perlindungan penting bagi siapa saja, bukan sekadar kemewahan.
3. Manfaat Asuransi Jiwa Hanya Setelah Meninggal
Pandangan bahwa asuransi jiwa hanya bermanfaat bagi ahli waris setelah kematian membuat banyak orang menunda membeli polis. Faktanya, asuransi jiwa juga memberikan perlindungan finansial jika pemegang polis mengalami penyakit kritis.
4. Klaim Asuransi Sulit di Kota Kecil
Sebagian masyarakat ragu berasuransi karena menganggap klaim sulit dilakukan di daerah. IFG Life menegaskan kini klaim dapat dilakukan secara digital melalui aplikasi tanpa harus datang ke kantor cabang, sehingga proses lebih cepat dan mudah.
5. Premi Asuransi Selalu Mahal
Mitos ini membuat masyarakat menunda proteksi. Kenyataannya, premi dapat disesuaikan dengan kemampuan finansial, sehingga tidak perlu menunggu mapan untuk mulai memiliki perlindungan.
Faktor yang Menghambat Partisipasi
Data IFG Progress mengidentifikasi tiga faktor utama yang membuat masyarakat enggan membeli asuransi, yaitu belum merasa memiliki kebutuhan, kurangnya kepercayaan terhadap perusahaan asuransi, serta persepsi bahwa premi mahal. Ketiga faktor ini memerlukan pendekatan berbeda agar penetrasi asuransi dapat meningkat secara signifikan.
Survei juga menemukan bahwa niat membeli asuransi belum merata. Sekitar 53 persen responden menyatakan ingin membeli asuransi pertama mereka, sedangkan 47 persen lainnya belum memiliki niat. Dari kelompok yang ingin membeli, 40 persen berencana baru mendaftar lebih dari lima tahun mendatang. Temuan ini menunjukkan perlunya strategi edukasi dan produk yang lebih tepat sasaran.
Ajakan untuk Mulai Sejak Dini
Fabiola menegaskan pentingnya proteksi sejak awal. “Asuransi bukanlah beban biaya, melainkan perlindungan finansial yang semakin penting di tengah ketidakpastian. Karena itu, kami mendorong masyarakat untuk memiliki proteksi sejak dini, agar manfaat perlindungan dapat dirasakan lebih optimal dengan premi yang tetap terjangkau,” tutupnya.